Jumat, 15 November 2013

Dongeng

Posted by bunga at 17.58


Pengembaraan Si Anak Kucing

        Dahulu di sebuah hutan yang lebat, hiduplah seekor induk kucing dengan anaknya. Induk kucing itu sangat menyayang anaknya. Dialah yang mencari makan untuk anaknya meskipun anaknya sudah mulai besar.
      Karena selalu bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan mereka, induk kucing itu akhirnya sakit. Induk kucing itu lalu memanggil anaknya.
      Dia memberi tahu tentang sakitnya dan menasehati anaknya agar belajar mencari makan.
      Anak kucing yang manja dan malas itu keliru menerima nasihat ibunya. Ia merasa ibunya mengusir secara halus dan tak sayang lagi kepadanya. Anak kucing itu lalu pergi meninggalkan induknya yang tua dan sakit-sakitan. Anak kucing itu berjalan tak tentu tujuannya. Suatu saat ia mendongakkan kepalanya ke atas. Dia lihat sinar matahari dengan sinarnya yang menyilaukan. Dia berangan-angan kalau ibunya matahari, tentu hidupnya akan senang.
      “Wahai matahari yang perkasa maukah kau mengambil aku sebagai anakmu?” katanya lantang kepada matahari.
“Mengapa kamu ingin menjadi anakku?”
“Karena aku ingin perkasa seperti engkau.”
“Di dunia ini aku tak selalu menang, tidak selalu perkasa. Masih ada yang bisa mengalahkan aku.”
“Siapakah itu?”
“Awan. Awan sering menutupi wajahku sehingga tidak tampak olehmu.”
Mendengar jawaban itu, ia mulai berpikir-pikir. Kalau begitu awan saja yang menjadi induknya. “Awan yang baik hati, maukah kamu menjadi ibuku?”
“Mengapa?”
“Kata matahari, kamu lebih hebat dari dia.”
“O… kucing yang manis. Masih ada yang bisa mengalahkan aku di bumi.”
“Siapa dia?”
“Angin! Jika angin dating menyerang, maka tubuhku tercerai-berai. Aku diterbangkan kesana kemari hingga hancur lebur menjadi air.”
Kucing lalu berlari ke arah angin yang bertiup kencang.
“Angin, angin, maukah kamu menjadi ibuku?”
Angin berkata,”Jangan kamu kira aku selalu senang. Aku pun sering punya masalah, karena masih ada yang lebih hebat dari aku.”
“Siapakah dia?”
“Bukit! Bagaimanapun bebasnya aku bergerak, namun jika di depanku ada bukit, aku tak bisa meneruskan perjalananku.”
Mendengar kata angin itu, kucing tersebut segera berlari-lari ke arah bukit yang tinggi.
“Bukit yang tinggi, maukah kamu mengangkat aku sebagai anakmu?”
“Apa yang kamu harapkan dariku?” Tanya bukit itu.
“Kamu gagah dan kuat. Aku ingin seperti engkau.”
“Hidupku pun tak lepas dari masalah. Masih ada yang sering mengganggu ketenanganku.”
“Benarkah? Siapakah dia?”
“Kerbau. Dia sering menanduk badanku hingga rusak dan rata dengan tanah.”
Kucing itu pun segera berlari-lari ke arah kerbau yang ditambatkan. Setelah bertanya kepada kerbau, ternyata kerbau itu menyatakan bahwa rotan yang mengikat itulah yang membuat hidupnya tak tenang.
Lalu kucing itu berlari ke arah rumput rotan. Menurut rotan, hidupnya pun tak selalu senang, karena sering digigiti oleh serombongan tikus hingga badannya sakit semua. Mendengar jawaban rotan, kucing itu segera berlari ke sebuah lubang.
Di situ ada keluarga tikus. Kucing itu mengutarakan maksudnya. “Wahai tikus, maukah kamu mengangkat aku sebagai anakmu?”
Induk tikus itu curiga, ada kucing ingin menjadi anak angkatnya.
“Apa tidak keliru bicaramu itu?” Tanya induk tikus waspada.
“Tidak. Saya bermaksud sungguh-sungguh.”jawab kucing.
“Hidup kami juga sering ditimpa kemalangan. Di hutan ini ada binatang yang sering membunuh anak-anak kami menjadi santapannya.”
“Benarkah? Siapa binatang pemberani itu?”
“Di hutan ini ada seekor induk kucing tua yang sangat ditakuti anak-anakku. Beberapa hari ini anak-anak kami bisa bermain-main di luar. Kabarnya kucing betina tua itu sakit-sakitan. Apalagi anak satu-satunya yang sangat disayangi meninggalkan dia. Kucing tua itu tampak menderita sekali. Sementara anaknya mencari kesenangan sendiri, tak tahu terima kasih kepada ibunya.”
Mendengar keterangan itu, si kucing tertunduk lemas. Dia sadar sekarang bahwa tindakannya selama ini keliru. Tak terasa matanya berlinang. Ia merasa rindu sekali kepada ibunya. Dia merasa sangat berdosa terhadap ibunya.
Tanpa mengingat letih, dia segera mencari ibunya. Ketika berjumpa, ternyata ibunya tetap menerima dia dengan penuh kasih sayang. Sejak saat itulah ia menjadi kucing yang rajin. Sekarang ia yang mencari makan untuk ibunya. Dia tidak lagi menjadi kucing yang manja dan malas.
Induk kucing itu memang sabar, ketika anaknya meninggalkan dirinya, dia tidak melarang. Setelah gagal mencari kebahagiaan di luar lingkungannya, anak kucing itu kembali kepada induknya dengan sikap yang telah berubah. Kesabaran induk kucing itu telah menyadarkan anaknya.

“Kita jadi anak harus berbakti kepada orang tua, karena orang tua kita lah yang merawat kita dari kecil hingga kita dewasa”

0 comments :

Posting Komentar

 

Xiangzo Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea