Pengembaraan Si Anak Kucing
Dahulu di sebuah hutan yang lebat, hiduplah seekor induk
kucing dengan anaknya. Induk kucing itu sangat menyayang anaknya. Dialah yang
mencari makan untuk anaknya meskipun anaknya sudah mulai besar.
Karena selalu bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan mereka,
induk kucing itu akhirnya sakit. Induk kucing itu lalu memanggil anaknya.
Dia memberi tahu tentang sakitnya dan menasehati anaknya agar
belajar mencari makan.
Anak kucing yang manja dan malas itu keliru menerima nasihat
ibunya. Ia merasa ibunya mengusir secara halus dan tak sayang lagi kepadanya. Anak
kucing itu lalu pergi meninggalkan induknya yang tua dan sakit-sakitan. Anak
kucing itu berjalan tak tentu tujuannya. Suatu saat ia mendongakkan kepalanya
ke atas. Dia lihat sinar matahari dengan sinarnya yang menyilaukan. Dia
berangan-angan kalau ibunya matahari, tentu hidupnya akan senang.
“Wahai matahari yang perkasa maukah kau mengambil aku sebagai
anakmu?” katanya lantang kepada matahari.
“Mengapa
kamu ingin menjadi anakku?”
“Karena
aku ingin perkasa seperti engkau.”
“Di
dunia ini aku tak selalu menang, tidak selalu perkasa. Masih ada yang bisa
mengalahkan aku.”
“Siapakah
itu?”
“Awan.
Awan sering menutupi wajahku sehingga tidak tampak olehmu.”
Mendengar
jawaban itu, ia mulai berpikir-pikir. Kalau begitu awan saja yang menjadi
induknya. “Awan yang baik hati, maukah kamu menjadi ibuku?”
“Mengapa?”
“Kata
matahari, kamu lebih hebat dari dia.”
“O…
kucing yang manis. Masih ada yang bisa mengalahkan aku di bumi.”
“Siapa
dia?”
“Angin!
Jika angin dating menyerang, maka tubuhku tercerai-berai. Aku diterbangkan
kesana kemari hingga hancur lebur menjadi air.”
Kucing
lalu berlari ke arah angin yang bertiup kencang.
“Angin,
angin, maukah kamu menjadi ibuku?”
Angin
berkata,”Jangan kamu kira aku selalu senang. Aku pun sering punya masalah,
karena masih ada yang lebih hebat dari aku.”
“Siapakah
dia?”
“Bukit!
Bagaimanapun bebasnya aku bergerak, namun jika di depanku ada bukit, aku tak
bisa meneruskan perjalananku.”
Mendengar
kata angin itu, kucing tersebut segera berlari-lari ke arah bukit yang tinggi.
“Bukit
yang tinggi, maukah kamu mengangkat aku sebagai anakmu?”
“Apa
yang kamu harapkan dariku?” Tanya bukit itu.
“Kamu
gagah dan kuat. Aku ingin seperti engkau.”
“Hidupku
pun tak lepas dari masalah. Masih ada yang sering mengganggu ketenanganku.”
“Benarkah?
Siapakah dia?”
“Kerbau.
Dia sering menanduk badanku hingga rusak dan rata dengan tanah.”
Kucing
itu pun segera berlari-lari ke arah kerbau yang ditambatkan. Setelah bertanya
kepada kerbau, ternyata kerbau itu menyatakan bahwa rotan yang mengikat itulah
yang membuat hidupnya tak tenang.
Lalu kucing itu berlari ke
arah rumput rotan. Menurut rotan, hidupnya pun tak selalu senang, karena sering
digigiti oleh serombongan tikus hingga badannya sakit semua. Mendengar jawaban
rotan, kucing itu segera berlari ke sebuah lubang.
Di situ
ada keluarga tikus. Kucing itu mengutarakan maksudnya. “Wahai tikus, maukah
kamu mengangkat aku sebagai anakmu?”
Induk
tikus itu curiga, ada kucing ingin menjadi anak angkatnya.
“Apa
tidak keliru bicaramu itu?” Tanya induk tikus waspada.
“Tidak.
Saya bermaksud sungguh-sungguh.”jawab kucing.
“Hidup
kami juga sering ditimpa kemalangan. Di hutan ini ada binatang yang sering
membunuh anak-anak kami menjadi santapannya.”
“Benarkah?
Siapa binatang pemberani itu?”
“Di
hutan ini ada seekor induk kucing tua yang sangat ditakuti anak-anakku.
Beberapa hari ini anak-anak kami bisa bermain-main di luar. Kabarnya kucing
betina tua itu sakit-sakitan. Apalagi anak satu-satunya yang sangat disayangi
meninggalkan dia. Kucing tua itu tampak menderita sekali. Sementara anaknya
mencari kesenangan sendiri, tak tahu terima kasih kepada ibunya.”
Mendengar
keterangan itu, si kucing tertunduk lemas. Dia sadar sekarang bahwa tindakannya
selama ini keliru. Tak terasa matanya berlinang. Ia merasa rindu sekali kepada
ibunya. Dia merasa sangat berdosa terhadap ibunya.
Tanpa
mengingat letih, dia segera mencari ibunya. Ketika berjumpa, ternyata ibunya
tetap menerima dia dengan penuh kasih sayang. Sejak saat itulah ia menjadi
kucing yang rajin. Sekarang ia yang mencari makan untuk ibunya. Dia tidak lagi
menjadi kucing yang manja dan malas.
Induk kucing itu memang
sabar, ketika anaknya meninggalkan dirinya, dia tidak melarang. Setelah gagal
mencari kebahagiaan di luar lingkungannya, anak kucing itu kembali kepada
induknya dengan sikap yang telah berubah. Kesabaran induk kucing itu telah
menyadarkan anaknya.
“Kita jadi anak harus berbakti
kepada orang tua, karena orang tua kita lah yang merawat kita dari kecil hingga
kita dewasa”
0 comments :
Posting Komentar